Menu

Kisah di Balik Nama Raja Siak Yang Dijadikan Nama Bandara di Pekanbaru

Lina 9 Jul 2019, 15:50
Makam Sultan Siak/lin
Makam Sultan Siak/lin

RIAU24.COM -  SIAK - Kabupaten Siak bukan hanya memiliki tempat destinasi wisata yang indah, tapi juga menyimpan sejarah yang kaya. Salah satunya Istana Siak dan Komplek Makam Masjid Syahabuddin.

Terdapat banyak sejarah mengenai asal usul Kerajaan Siak, termasuk kisah Sultan Syarif Kasim II, yang ternyata dijadikan sebagai Nama sebuah bandara biasanya dinamakan dengan tokoh yang berpengaruh di tempat tersebut yang terletak di Pekanbaru yakni Bandara yang bernama Bandar Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II.

Sultan Syarif Kasim II lahir di Siak Sri Indrapura, Riau, 1 Desember 1893. Dia adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Ia dinobatkan sebagai sultan pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Syarif Kasim diberi kesempatan menuntut ilmu di Batavia.

Sultan Syarif Kasim II punya dua permaisuri. Yang pertama, Tengku Syarifah Mariam binti Fadyl yang bergelar Tengku Agung Sultanah Latifah yang menikah di Langkat Sumatera Timur pada 27 Oktober 1912.

Tengku Agung sempat mendirikan sekolah Sultanah Latifah School pada 1926 yang mengajarkan baca, tulis, agama, bahasa Belanda, dan keterampilan memasak dengan guru-guru perempuan. Tengku Agung mangkat pada 1929.

Selama 14 tahun Sultan tak punya permaisuri hingga menikahi Syarifah Fadlun yang diangkat sebagai permaisuri II dengan gelar Tengku Mahratu. Tengku Mahratu kemudian dicerai hidup pada 1950 dan mangkat di Jakarta pada 1980.

Selain dua istri tersebut, Sultan punya dua lagi istri yang berstatus selir. Yakni Syarifah Syifak yang dicerai hidup, dan Syarifah Fadlon pada 17 Februari 1957 di Jakarta, seorang janda berdarah Arab-Betawi beranak empat. Syarifah Fadlon mangkat di Jakarta pada 1987 dan dimakamkan di Siak Sri Indrapura.
 

Sultan tak punya keturunan dari empat istrinya tapi memelihara banyak anak angkat. Tak adanya keturunan jadi salah satu sebab Sultan menyerahkan Kerajaan Siak Sri Indrapura, bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 1946 dengan tanda menyerahkan mahkota dan singgasananya. Singgasana bersepuh emas ini sekarang ada di Museum Nasional, Jakarta, sedangkan yang ada di Istana Siak adalah replikanya.

Selanjutnya, Sultan Syarif Kasim II meninggalkan istana untuk jadi penasihat pribadi Presiden Sukarno. Sambil tak lelah membujuk raja-raja Sumatera Timur bergabung dengan NKRI Syarif Kasim II menyerahkan sebagian hartanya, sebesar 13 juta gulden dan tiga gantang emas, untuk membantu perang kemerdekaan, pada 1945. Sepanjang 1945-1950, Syarif Kasim II berjuang di Aceh dengan bergabung dalam Barisan Ksatria Divisi Rencong pimpinan Ali Hasjmy.

Istana yang mendadak tak punya empu setelah Siak menyatakan bergabung dengan NKRI, langsung jadi sasaran jarahan massa. Namun lambat laun, satu per satu, barang-barang istana dikembalikan. Jika pada masa sekarang ada kolektor barang antik yang mengaku punya koleksi dari Kerajaan Siak, bisa jadi itu dulunya hasil jarahan.

Sultan Syarif Kasim II kembali ke Siak pada Mei 1966 dan mangkat di Rumah Sakit Caltex Sungai Rumbai, Pekanbaru, 23 April 1968 pada umur 74 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pekarangan Masjid Syahabuddin. Atas jasanya kepada Republik Indonesia, pemerintah RI melalui Presiden RI BJ Habibie memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Syarif Kasim II pada 1998. Namanya pun diabadikan sebagai nama bandara di Pekanbaru untuk mengenang jasa dan perjuangannya. Para Wisatawan yang ingin mengetahui kisah hidupnya, bisa menziarahi makamnya di pekarangan Masjid Syahabuddin di Kabupaten Siak, Riau.***\

R24/lin