Menu

Program Sertifikat Tanah, Katanya Gratis, Ternyata Warga Masih Diminta Uang Jutaan Rupiah

Siswandi 5 Feb 2019, 23:16
Program sertifikat tanah yang digelar di wilayah Pondok Cabe Tangerang Selatan, Banten, beberapa waktu lalu. (Ilustrasi, int)
Program sertifikat tanah yang digelar di wilayah Pondok Cabe Tangerang Selatan, Banten, beberapa waktu lalu. (Ilustrasi, int)

RIAU24.COM -  Program pembagian sertifikat tanah yang dilaksanakan Pemerintahan Jokowi, tampaknya belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Meski Jokowi sudah menegaskan pembagian sertifikat tanah itu dilakukan gratis, ternyata masih ada warga penerima sertifikat yang dimintai uang untuk menebus sertifikat tersebut.

Kondisi itu diungkapkan beberapa warga di Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan (Tangsel), Banten. Mereka mengaku masih harus menebus hingga jutaan rupiah untuk mendapatkan sertifikat tanah, program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

Padahal program ini kerap kali digaungkan Presiden Joko Widodo tak memungut biaya sama sekali alias gratis .

Untuk diketahui, pembagian sertifikat tanah secara gratis untuk warga di kawasan itu, dilakukan Presiden Jokowi  pada Jumat 25 Januari 2019 lalu. Dilansir cnnindonesia, sertifikat itu dibagikan kepada 40.172 warga Tangerang Selatan.

"Saya kadang-kadang harus mengecek apakah sertifikat ini diberikan hanya ke bapak ibu di depan tadi atau betul-betul bapak ibu sudah pegang semuanya," kata Jokowi kala itu.

Namun belakangan, sejumlah warga mengakui pembagian sertifikat itu tidaklah gratis, seperti yang didengungkan selama ini. Meski harus membayar hingga jutaan rupiah, beberapa di antara mereka mengaku tak keberatan karena angkanya masih berada di bawah setoran normal untuk menebus sertifikat tanah.

Seperti dituturkan salah seorang warga Kelurahan Pondok Cabe Ilir, keluarganya diminta membayar Rp2,5 juta untuk mengurus sertifikat tanah dalam program kebanggaan Jokowi itu.

"Bapak saya ikut program ini kan karena katanya gratis, tapi pas tanya ke RT ternyata harus bayar sekitar Rp2,5 juta," ungkapnya.

Menurutnya, jumlah itu lebih tinggi dibanding pungutan yang diwajibkan di RT-RT lain yang rata-rata berkisar di angka Rp1,5 juta. Namun dari informasi yang ia ketahui, bahkan ada juga RT yang memungut Rp3,5 juta untuk mengikuti program ini.

Sejumlah warga juga telah mengetahui pernyataan Jokowi yang meminta segera dilaporkan, bila masih ada yang dipaksa membayar, baik dari pihak pemerintah daerah atau Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Namun hampir kebanyakan dari warga mengakui pungutan liar untuk mengikuti program PTSL sudah mafhum diketahui banyak orang. Banyak orang yang enggan untuk melapor ke Saber Pungli karena pungli itu dianggap masih jauh lebih murah ketimbang mengurus dengan metode reguler.

Seperti diungkapkan warga itu, ia tak mempermasalahkan pungli tersebut karena kalau mengikuti jalur reguler jumlah uang yang ia keluarkan bisa mencapai Rp15 juta.

"Lagipula mana ada sih yang gratis? Yang gratis kan cuma kentut," katanya sambil terkekeh.

Menanggapi hal itu, Ketua RT05/RW06 Pondok Cabe Ilir, Sujadih, tak menyangkal ada biaya sekitar ratusan ribu rupiah yang diminta untuk mengurus sertifikat tanah dalam program PTSL tersebut. Ia pun tak menutupi kemungkinan ada RT-RT yang menagih hingga Rp1,5 juta.

Hanya saja, ia berdalih hal itu bersifat sukarela. Uang itu pun dipakai untuk mengupahi orang-orang yang melakukan pengukuran tanah dan lain-lainnya.

Sedangkan Lurah Pondok Cabe Ilir, Munadi, mengaku tidak tahu sama sekali terkait pungli tersebut. Menurutnya, segala kebijakan yang dikeluarkan selama program PTSL di wilayahnya dilakukan oleh pejabat lurah sebelumnya. Sebab ketika program itu berjalan, ia masih menjalani dikat selama enam bulan.

Dari surat edaran yang dikeluarkan lurah sebelumnya, Munadi menjelaskan pengurusan sertifikat tanah dalam program PTSL itu memang gratis.

Namun menurutnya, warganya sangat menyambut program ini dengan antusias. Selain secara biaya jauh lebih murah, prosesnya juga membutuhkan waktu relatif lebih cepat dibanding metode reguler.


Ini sebabnya Munadi tampak agak keberatan perkara ini diungkit ke permukaan. "Jadi bahasa saya, jangan tuh orang dibangun-bangunin. Dalam artian kata dikorek-korek dan sebagainya," ujarnya. ***