Menu

OPINI : Saatnya Rakyat Jadi Macan Bukan Mengembek

Satria Utama 16 Apr 2019, 11:36
Bagus Santoso
Bagus Santoso

Dengan menggunakan analogi gadis cantik untuk menjelaskan bagaimana perasaan rakyat setiap jelang pemilu, tulisan ini ingin menyampaikan pesan bahwa dalam kehidupan rakyat biasa sekarang (red-walaupun sudah bekerja keras seharian baru cukup untuk tidak kelaparan esok harinya) itu terjadi proses pembelajaran dan pencerdasan politik secara alami. Pada teorinya  parpol seharusnya yang paling bertanggung jawab mencerdaskan dan membuat melek politik meski kenyataan bertolak belakang.

Realitas kehidupan telah menjadi guru politik rakyat kecil yang mengajarkan bahwa kebenaran tidak boleh lagi disimpulkan dari harapan-harapan yang banyak bertebaran setiap musim pemilu. Rakyat sudah paham benar kalau kebenaran itu hanya bisa disimpulkan dari "fakta" bukan harapan. Sungguh Rakyat sekarang merasakan apa yang berlaku, mana janji mana bukti. Mana bualan kosong mana yang masuk akal sehat.

Dalam kesetiaan menjadi rakyat yang selalu berdamai dengan kemiskinan, yang akrab dengan kondisi papa kedana, sudah tidak terhitung lagi jumlahnya berapa kali rakyat harus kecewa dan gigit jari karena mengira kebenaran itu adalah harapan-harapan yang dijanjikan. 

Namun faktanya jauh panggang dari api alias kena bengak berkepanjangan. Sekarang sadar benar, bahwa kebenaran itu bukan dari harapan, tapi dari fakta. Betapa tidak, Perut rakyat menjadi buncit dan meledak setiap musim pemilu kerana tergiur menu janji yang disediakan di atas meja harapan. Setelah pemilu perut buncit bukan kenyang nasi tetapi tumpukan sampah berjibun janji.

Sekarang bagaimana pun indahnya bentuk kemasan janji dan harapan yang disiapkan di ruang-ruang sejuk, rakyat nampaknya tidak akan ngiler lagi, rakyat tak akan tergiur lagi.

Karena itu, dalam detik-detik perjalanan sampai bilik suara tanggal 17 April 2019, rakyat tidak boleh lagi “mengembek” mengikuti sang gembala yang sudah dicucuk hidungnya dengan iming-iming jabatan.

Halaman: 123Lihat Semua