Menu

Abdullah Hehamahua Ingatkan MK tentang Kerusakan Permanen Bangsa Jika tak Adil Dalam Putuskan Sengketa Pilpres

Siswandi 18 Jun 2019, 15:20
Abdullah Hehamahua yang kembali turun ke jalan, untuk mengawal sidang MK. Foto: int
Abdullah Hehamahua yang kembali turun ke jalan, untuk mengawal sidang MK. Foto: int

RIAU24.COM -  Mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga tokoh senior Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Abdullah Hehamahua, mengingatkan seluruh majelis hakim Mahkamah Konsititusi untuk bersikap adil, dalam menjatuhkan vonis sengketa Pilpres.

Para hakim MK juga diminta tak takut terhadap intimidasi dan tekanan. Sebab, bila tak adil dalam menjatuhkan putusan, maka dampaknya akan sangat besar bahkan bisa menjadi permanen, sehingga mengancam persatuan bangsa dan negara.

Hal itu dilontarkannya, saat kembali turun jalan dalam aksi damai mengawal sidang kedua gugatan Pilpres, yang digelar di Gedung MK. Dalam kesempatan itu, Abdullah tampak berbaur dengan alumni keluarga besar Universitas Indonesia (UI) di kawasan Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 18 Juni 2019.

“Kita cuma ingin memberikan dukungan moral kepada Hakim—hakim di MK, agar mereka tidak takut, tidak khawatir terhadap intimidasi dan tekanan,” ungkapnya, dilansir republika.

Ia mengingatkan, MK harus memutuskan sengketa Pilpres 2019 kali ini dengan adil dan bijaksana. Pun dengan harapan memberikan keputusan yang membawa masyarakat di Tanah Air kepada persatuan.

Sebab selama ini, kesenjangan di masyarakat masyarakat tampak begitu kentara, lantaran perbedaan politik akibat Pilpres 2019.  

“Sehingga mereka (hakim MK) betul-betul bisa mengambil keputusan yang benar, sesuai dengan fakta-fakta hukum, dan bukti-bukti yang ada,” tambahnya.

Abdullah mengaku khawatir jika MK tak dapat memutuskan sengketa Pilpres 2019 dengan adil. Ia memprediksi, jika MK memutus dengan cara tak adil, akan berdampak permanen bagi arah kemajuan bangsa.

Yaitu ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses pemilihan umum (Pemilu) dan lembaga negara. Jika hal yang ditakutkan itu terjadi, maka keterpilihan kepemimpinan nasional mendatang cuma membutuhkan 25 persen dari partisipasi pemilih.

Itu artinya, legitimasi kepemimpinan nasional akan lemah di masyarakat. Situasi tersebut, pun bakal mengancam integrasi NKRI.

Terkait aksi keli ini, Abdullah mengatakan, massa diperkirakan akan lebih banyak dibanding aksi  pertama pada Jumat pekan lalu. Mereka berasal dari Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF), Alumni 212, Forum Ulama Indonesia (FUI) dan Gerakan Nasional Kedaulatan Indonesia (GNKI), serta unsur masyarakat lainnya.

"Nanti datang mereka dari FPI, GNPF, Alumni 212, FUI dan emak-emak. Kalau Jumat kemarin sekitar 3.000, ya mungkin lebih nanti," tambahnya, dilansir viva. ***