Menu

Warga Kanada Terpidana Sodomi Siswa JIS Langsung Bebas Setelah Terima Grasi dari Presiden, Fahira Idris: Patut Dipertanyakan Alasannya

Siswandi 15 Jul 2019, 13:01
Neil yang kini bisa menghirup udara bebas setelah menerima grasi dari Presiden Jokowi. Foto: int
Neil yang kini bisa menghirup udara bebas setelah menerima grasi dari Presiden Jokowi. Foto: int

RIAU24.COM -  Anda masih ingat dengan sosok Neil Bantleman, terpidana kasus sodomi dan kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta Internasional School (JIS) beberapa waktu silam? Saat ini, pria asal Kanada ini sudah bisa menghirup udara bebas, setelah menerima grasi (pengampunan, red) dari Presiden Joko Widodo.

Untuk diketahui, awalnya Neil divonis selama 11 tahun penjara, oleh Mahkamah Agung (MA) pada tahun 2016 lalu. Hal itu setelah ia terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap siswa JIS. Namun hukuman itu telah dipangkas, setelah ada grasi yang diberikan presiden. Saat ini Neil pun kembali bebas.

Pemberian grasi itu kemudian menjadi perhatian khusus Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fahira Idris. Ia menilai, bebasnya Neil Bantleman sesuatu yang kontraproduktif terhadap upaya perlindungan anak.

Menurut Fahira, pemberian grasi ini membuat ketegasan negara dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak, menjadi hambar kembali. Padahal, dulunya negara menilai bahwa kasus ini adalah kejahatan luar biasa setara dengan kejahatan narkoba, terorisme, dan korupsi.

Karena itu, Fahira menilai, patut dipertanyakan apa alasan Presiden memberikan grasi kepada Neil tersebut. Menurutnya, perlu ditanyakan apa alasan objektif dan rasional hingga grasi ini diterbitkan Presiden Jokowi.

Tak sampai di situ, menurutnya Presiden harus menjelaskan kepada publik secara komprehensif, kenapa terpidana kasus pelecehan seksual anak berhak mendapat grasi hingga bebas.

"Memang ini hak Presiden. Tapi publik berhak tahu pertimbangannya pemberian grasi ini apa. Bagi saya pemberian grasi ini kontraproduktif terhadap upaya bangsa ini memerangi kekerasan seksual terhadap anak dengan menjadikannya sebagai kejahatan luar biasa," ujarnya, melalui keterangan resmi, yang diterima viva, Senin 15 Juli 2019.

Preseden tak Baik
Lebih lanjut, Fahira menilai, pemberian grasi ini akan menjadi preseden tidak baik, karena dikhawatirkan langkah ini (pengajuan grasi) bakal diikuti oleh terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak lainnya di Indonesia.

"Bagaimana jika ada terpidana pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang lainnya berbondong-bondong mengajukan grasi? Saya khawatir muncul persepsi, jika yang 11 tahun saja dapat grasi kenapa yang lain tidak. Ini kan preseden tidak baik," tandasnya.

Faktor Kemanusiaan
Terkait hal itu, Kepala Staf Presiden, Moeldoko, mengatakan alasan Presiden Jokowi memberikan grasi kepada Neil adalah faktor kemanusiaan.

"Saya pikir persoalan kemanusiaan yang menjadi utama," ujarnya di kantornya, dilansir detik.

Tak hanya itu, Moeldoko juga mengatakan adanya desakan suara publik, meski tak merinci publik mana yang dimaksud. Menurut Moeldoko, Presiden Jokowi sangat sensitif mendengarkan suara publik.

Proses hukum terhadap Neil, terhitung cukup berliku. Pada 2015, Neil Bantleman divonis bersalah melecehkan siswa JIS dan dihukum 10 tahun penjara oleh hakim PN Jakarta Selatan.
Namun pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta membatalkan putusan tersebut sehingga dia bebas pada Agustus 2015.

Pada Februari 2016, MA memutuskan Neil bersalah dan dihukum 11 tahun penjara. Ia pernah mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) pada 2017, namun ditolak MA.

Selanjutnya, pada tahun 2018, Neil mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Jokowi. Gayung bersambut, Jokowi memberikan grasi kepada Neil lewat Kepres No 13/G Tahun 2019, yang diteken pada 19 Juni 2019. Dua hari kemudian, Neil pun langsung bebas. ***