Menu

Amien Rais Dikritik Karena Tolak Ibukota Baru, Dradjad Wibowo Balas dengan Sentilan Tajam Ini

Siswandi 4 Sep 2019, 13:17
Dradjad Wibowo
Dradjad Wibowo

RIAU24.COM -  Beberapa politisi di Tanah Air, mengkritik Amien Rais, karena menolak rencana pemindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur. Hal itu memancing reaksi anggota Dewan Kehormatan (Wanhor) Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo.

Menurutnya, politikus partai politik yang antipati terhadap Amien Rais, karena mereka kurang membaca, tapi banyak bicara.

“Teman-teman parpol yang antipati terhadap pak Amien itu terlihat sekali kalau kurang membaca, banyak bicara,” lontarnya, dalam pesan tertulisnya yang dilansir republika, Rabu 4 September 2019.

Seperti dirilis media massa, penolakan ibukota negara yang baru itu, disampaikan Amien Rais dalam diskusi yang digelar di Kompleks Senayan, Selasa kemarin. Dalam kesempatan itu, sikap serupa juga dilontarkan politisi Gerindra, Fadli Zon.

Tak berapa lama sesudahnya, kritikan datang dari politikus PPP Ahmad Baidowi dan politikus Golkar, Ace Hasan.

Baidowi menyebut pernyataan Amien menyesatkan dan provokatif. Sedangkan Ace menyebut pernyataan Amien tidak mencerminkannya sebagai seorang eks guru besar Ilmu politik dan akademisi. Menurutnya, pernyataan itu lebih banyak didasari oleh asumsi-asumsi yang sangat tidak mendasar.

Menyikapi hal itu, Dradjad menyarankan mereka membaca sebanyak mungkin tentang China dan Presiden Xi Jinping. Khususnya terkait isi "The Chinese Dream”.

"Pahami bagaimana China melihat dirinya sebagai the Middle Kingdom yang menjadi pusat gravitasi dunia. Pahami the Century of Humiliation yang memalukan bangsa China, yang diawali dengan kekalahan dari Inggris dalam Perang Opium Pertama tahun 1839-1842," lontarnya.

Dradjad mengingatkan, China pada tahun 1820-an pernah menyumbang 30 persen PDB Dunia. Lalu bagaimana selama the Century of Humiliation, peranan PDB China hancur menjadi 5 persen. Lalu pada tahun 2017 sumbangan China ke PDB Dunia sudah menjadi 15,38 persen.

Setelah paham itu, kata Dradjad, mereka juga diminta membaca tentang bagaimana China mengekspor “soft power”nya untuk memperkuat pengaruh global. Begitu pula peran krusial dari the United Front Work Department dalam konteks ini.

Begitu pula bagaimana President Xi menekankan betapa pentingnya the United Front dalam berbagai acara Partai Komunis China. Lihat bagaimana pejabat-pejabat the United Front meroket karirnya. Termasuk di dalamnya peran The Confucius Institute.

"Dari situ kita akan paham bagaimana Presiden Xi Jinping dengan sangat cerdas memainkan OBOR (One Belt One Road),” ungkap Dradjad.

China Tahu
Terkait rencana pemindahan ibukota negara yang baru, Dradjad mengatakan, China tahu Indonesia tidak punya cukup uang untuk memindahkan ibukota. Untuk membayar defisit BPJS saja, APBN kewalahan. Apalagi semester I/2019 ini penerimaan pajak hanya 38,25 persen dari target APBN.

Di sisi lain, lanjutnya, jangka waktu pemindahan ibu kota dibuat sangat ambisius. Harus pindah tahun 2024.

Bagi China, kondisi  ini adalah kesempatan emas untuk “mengunci” pengaruh geopolitik-ekonomi terhadap Indonesia. "Ini karena proyek pemindahan ibukota tersebut amat sangat klop dengan langkah China mengekspor “soft power”nya,” lontar Dradjad.

Memakai istilah sepakbola, proyek pemindahan ibu kota itu seperti umpan yang sangat matang untuk China. Tinggal disontek sedikit, bola masuk ke gawang lawan. "Itu sebabnya pak Amien memakai istilah persembahan,” ujarnya lagi. ***