Menu

Aksi Penolakan UU KPK Makin Marak di Tanah Air, Jaksa Agung Malah Pertanyakan Ini

Siswandi 1 Oct 2019, 00:22
Jaksa Agung Prasetyo
Jaksa Agung Prasetyo

RIAU24.COM -  Aksi penolakan revisi Undang-undang tentang KPK, makin marak terjadi di Tanah Air. Semua pihak meminta Presiden Joko Widodo, segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk merevisi undang-undang yang telah disahkan di DPR tersebut.

Sebagai reaksinya, Presiden Jokowi mengatakan akan mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu tentang UU KPK. Hal itu disampaikannya seusai bertemu sejumlah tokoh-tokoh nasional di Istana.

Namun di balik itu, Jaksa Agung Mohammad Prasetyo mempertanyakan faktor kegentingan yang memaksa yang dapat dijadikan alasan untuk menerbitkan Perppu tersebut.

"Tentunya perlu dikaji dulu apakah di situ memenuhi persyaratan untuk dibuat Perppu, antara lain kegentingan memaksa dan tidak ada peraturan perundangan yang mengatur. Apakah betul ada kegentingan yang memaksa?" kata Prasetyo di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin 30 September 2019.

Dilansir cnnindonesiayang mengutip antara, Prasetyo menilai, ada cara lain yang dapat ditempuh pihak yang keberatan dengan revisi UU KPK di luar jalur Perppu. Misalnya, uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Hal serupa juga pernah dilontarkan beberapa anggota DPR.

"Jangan ada agenda lain di balik [penolakan UU KPK] itu. Kami punya jajaran intel yang tahu persis itu semua. Ini tidak relevan lagi kan, semua [tuntutan] sudah dipenuhi," lontar mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem tersebut.

Untuk diketahui, kewenangan penetapan Perppu oleh Presiden, tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 45. Di dalamnya disebut presiden berwenang mengeluarkan Perppu, dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Tak Harus Genting

Terkait hal ini, sebelumnya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan, Presiden bisa menerbitkan Perppu tanpa harus menunggu situasi genting. Menurutnya, Perppu bisa dikeluarkan atas subjektivitas Presiden Joko Widodo.

"Kan memang sudah agak genting ini. Bisa juga hak subjektif presiden, menurut hukum tata negara. Tidak bisa diukur apa genting itu," lontarnya, Kamis (26/9/2019) di Istana Negara.

Mahfud mengatakan ketika seorang presiden sudah menilai bahwa perlu mengambil tindakan di tengah kritikan atas keputusan sebelumnya, maka hal tersebut bisa dilakukan.

Ditambahkannya, dalam pembicaraan dengan Jokowi bersama sejumlah tokoh, muncul tiga opsi menyikapi UU KPK hasil revisi. Opsi pertama legislatif review, opsi kedua judicial review dan ketiga adalah menerbitkan Perppu.

"Agar itu (UU KPK) ditunda dulu sampai ada suasana yang baik untuk membicarakan isinya, substansinya dan karena ini kewenangan presiden, kami semua hampir sepakat menyampaikan usul itu," terangnya ketika itu. ***