Menu

Merusak Demokrasi, Ini Empat Sebab Maraknya Dinasti Politik di Indonesia

Satria Utama 29 Jul 2020, 08:50
ilustrasi/net
ilustrasi/net

RIAU24.COM -  JAKARTA - Pilkada serentak tahun 2020 yang akan berlangsung bulan Desember mendatang, marak diwarnai praktik dinasti politik. Sejumlah kerabat dekat petahanan ikut maju di ajang kontestasi politik tesebut.

Ironisnya, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraeni, dinasti politik yang marak saat ini bukan dalam konteks hak asasi warga negara atau akses terhadap politik dan kepemiluan, namun lebih kepada politik dinasti yang cenderung destruktif.

Titi menyebut setidaknya ada empat faktor yang berkontribusi terjadinya politik dinasti yang destruktif. "Pertama adalah kaidah hukum yang memungkinkan itu terjadi," kata Titi dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/7) seperti dilansir Republika.

Menurutnya besaran ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mencapai 20 persen kursi atau 25 persen suara sah, berkontribusi terhadap kemungkinan terjadinya politik dinasti atau kekerabatan. Tingginya besaran ambang batas membuat adanya akses yang terbatas di dalam proses pencalonan Pilkada.

Titi menungkapkan, dipersulitnya syarat calon perseorangan untuk bisa maju dalam pilkada juga menjadi penyebab munculnya dinasti politik. Padahal keberadaan calon perseorangan dinilai penting untuk menghadirkan calon alternatif.

"Calon perseorangan sekarang dibuat menjadi 6,5 sampai 10 persen,  jadi akhirnya akses politik itu makin terbatas, hanya orang-orang dan kelompok tertentu saja," ujarnya.

Halaman: 12Lihat Semua