Menu

Gara-gara Pertemuan Ini, Israel Jadi Kebakaran Jenggot dan Panas Dingin

Siswandi 6 Sep 2020, 23:29
Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallahbertemu Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh. Foto: int
Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallahbertemu Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh. Foto: int

RIAU24.COM -  Israel dikabarkan kebakaran jenggot, setelah adanya pertemuan antara pimpinan Hizbullah dan Hamas. Pasalnya, pertemuan para pemimpin anti-Israel dan sekutunya itu ditujukan untuk memperkuat poros perlawanan terhadap kekuatan Israel dan AS di negara-negara islam Timur Tengah, khususnya di Palestina. 
Pertemuan itu juga dikabarkan untuk memperkuat poros perlawanan terhadap Israel itu kemungkinan besar akan membuat perhitungan dalam waktu dekat ini kepada Israel.

Pertemuan terjadi antara Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah dan Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, Sabtu kemarin, 5 September 2020 di Lebanon. 

Dilansir viva yang mengutip anadoly agency, Minggu 6 September 2020, kedua pemimpin pasukan Anti-Israel dan Amerika Serikat (AS) itu bertemu untuk membahas tentang rencana penandatangan perdamaian atau kesepakatan normalisasi hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) yang akan dilakukan dalam waktu dekat ini di Washington. 

"Kami membahas berbagai perkembangan politik dan militer terbaru di Palestina, Lebanon dan kawasan itu," ungkap Nasrallah, 

Tidak hanya itu, Hizbullah dan Hamas juga membahas segala potensi ancaman yang akan dihadapinya pasca perjanjian normalisasi antara Israel dan UEA yang difasilitasi oleh Amerika Serikat (AS).

"Kami memperkuat kekuatan poros perlawanan dalam menghadapi semua tekanan dan ancaman. Terutama pasca kesepakatan abad ini dan proyek normalisasi Arab resmi dengan entitas perampas dan tanggung jawab bangsa terhadap itu," ujarnya.

Seperti diketahui, pada pertengahan Agustus lalu Presiden AS Donald Trump telah berhasil meyakini Uni Emirat Arab (UEA) dan Israel untuk duduk bersama dan menjalin perjanjian normalisasi hubungan dua negara di Timur Tengah itu.  Hal itu dilakukan AS terkait dengan rencana pembelian jet tempur F-35 oleh UEA. 

Sementara di satu sisi, Amerika Serikat sendiri terikat perjanjian kerja sama industri pertahanan dengan Israel, yang disebut perjanjian Keunggulan Militer Kualitatif Israel (QME) di Timur Tengah. Perjanjian itu menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak dapat menjual senjata-senjata canggihnya kepada negara-negara di Timur Tengah tanpa persetujuan Israel.

Kabarnya, rencana penandatangan kerja sama pembelian F-35 yang rencananya akan dilakukan pada 13 September mendatang di Gedung Putih, mendapatkan kecaman dari Kepala Intelijen Israel Eli Cohen. Ia  tidak setuju jika UEA memiliki F-35 dari AS seperti halnya Israel saat ini. Menurut Cohen, jika UEA memiliki pesawat tempur modern F-35 maka kekuatan tempur UEA akan berkembang, dan dia mengkhawatirkan perkembangan kekuatan militer UEA dapat menjadi ancaman bagi Israel dalam waktu mendatang.

Hal itu yang kemudian menimbulkan prediksi, kesepakatan normalisasi hubungan Israel dan UEA yang difasilitasi oleh AS itu bakal teracam rusak. Situasi ini juga menunjukkan bahwa Israel akan tetap pada pendiriannya.

Sikap itu sekaligus mempertontonkan ambisi Israel menjadi negara yang memiliki kekuatan tempur di atas negara-negara islam di kawasan Timur Tengah. Parahnya, hal itu berarti Israel tidak akan melepaskan Palestina dari klaim kepemilikan wilayahnya. ***