Menu

APR Dukung Upaya Pelestarian Tenun Siak

Riki Ariyanto 23 Jun 2021, 17:07
Yati lihai dalam menenun. Keterampilan ini diwariskan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang (foto/ist)
Yati lihai dalam menenun. Keterampilan ini diwariskan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang (foto/ist)

RIAU24.COM - Budaya Melayu memang sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Riau, salah satunya adalah keterampilan menenun. Bisa dibilang tenun Siak di Riau merupakan warisan budaya Melayu yang masih bertahan hingga kini. Hal ini tak lepas dari kegigihan masyarakat Siak yang terus berupaya melestarikan kerajinan tenunnya dari kepunahan. Alasannya tenun Siak memiliki nilai budaya dan sejarah yang tinggi.

Tenun Siak yang merupakan simbol keagungan nan eksotik hasil kreatifitas masyarakat Siak ini mulanya hanya dipakai oleh pembesar istana. Lama kelamaan, kerajinan tenun mulai menembus keluar istana. Tak heran, sebagai pusat tenun di Riau, kaum hawa di Siak, lihai dalam menenun. Uniknya mereka tak perlu sekolah untuk belajar tenun, keterampilan ini diwariskan secara turun temurun sejak zaman nenek moyang.

Tak hanya itu keistimewaan tenun Siak. Tenun ini menyimpan kekhasan dalam menyimpan motif. Sampai saat ini tenun siak masih bertahan untuk mengaplikasikan motif tradisional khas melayu, yakni pucuk rebung, tabor manggis dan lainnya. Memang sesekali motif ini dikombinasi dengan motif lain, namun motif melayu tetaplah dominan. Seperti halnya dominasi motif dan warna benang sebagai bahan dasar tenunan.

Bagi masyarakat Siak menenun memang tak bisa dilakukan sembarangan. Sang penenun harus sanggup mengatur benang agar tidak kendor. Kaki pun harus dihentakkan dengan kuat agar hasil tenunan padat dan rapi. Ketekunan dan ketelatenan yang tinggi sangat diperlukan agar menghasilkan karya sempurna. Oleh karena itu, wajar tenun Siak dihargai tinggi. Selembar kain sarung bisa mencapai 350 ribu rupiah, wanita lebih mahal sekitar 750 ribu rupiah, tergantung kesulitan dan benang yang dipakai.

Begitulah cerita dari Rosdiah Harlina yang akrab disapa Yati. Awalnya ia tidak berniat untuk meneruskan kerajinan tenun Ibunya yang telah ada sejak tahun 1980-an. Namun, sebagai perempuan satu-satunya di keluarga, Yati harus mengambil bisnis kerajinan ini.

“Ibu menginspirasi saya. Beliau adalah orang pertama yang mengenalkan, mengajari saya menenun. Itu yang bisa membuat saya tergerak untuk terus menjalankan kerajinan ini sampai sekarang. Pembeli dari berbagai kalangan datang, dari lokal sampai luar kota Siak,” tutur guru MAN 1 Siak ini.

Halaman: 12Lihat Semua