Menu

Kisah TKI Jadi Korban Kekerasan Staf KJRI, Terkuak Usai Dibongkar Media Amerika Serikat: Kerap Mendapat Ancaman

Rizka 14 Oct 2021, 11:28
google
google

RIAU24.COM -  Media Amerika Serikat The Washington Post merilis hasil investigasi mengenai dugaan kekerasan oleh Staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) terhadap Sri Yatun yang pernah bekerja sebagai PRT di rumah dinas salah satu staf KJRI Los Angeles, Cicilia Rusdiharini, pada 2004-2007.

Laporan The Washington Post Magazine fokus membahas kisah para PRT asing yang dibawa ke AS oleh para majikan mereka yang merupakan diplomat atau pejabat organisasi internasional di bawah program visa khusus AS. Namun para PRT malah jadi korban penganiayaan di negeri Paman Sam.

Jurnalis The Washington Post Magazine mewawancarai PRT tersebut, penyedia layanan sosial, teman-teman korban, serta atas dasar pernyataan yang diberikan di bawah sumpah sebagai bagian dari pengajuan T-visa korban. Untuk diketahui, T-visa merupakan dokumen khusus yang diberikan kepada korban penyelundupan manusia.

PRT asal Indonesia yang jadi korban kekerasan majikannya yang berstatus staf KJRI tersebut tiba di AS tahun 2004 lalu.

Kemampuan para PRT untuk tinggal secara legal di AS ada di tangan para majikan mereka, yang mungkin memiliki kekebalan diplomatik dari aturan hukum AS. Sementara banyak PRT yang memiliki hubungan saling menghormati dan mendalam dengan majikan mereka.

Ketidakseimbangan kekuasaan yang diberikan visa itu memicu berbagai persoalan, seperti kerja melampaui jam yang semestinya, upah kecil dan persoalan lebih buruk lainnya. Sri Yatun (32) menuturkan sang majikan saat memberitahunya bahwa dia akan bekerja tanpa upah selama empat bulan pertama hingga mereka pindah ke AS, informasi ini didasarkan pada keterangan Sri dan dokumen T-visa.

Dituturkan Sri bahwa staf KJRI itu menyebut upahnya akan digunakan untuk membayar pengajuan visa dan tiket pesawat ke AS. Saat itu Sri meyakinkan dirinya bahwa semuanya tidak akan sia-sia.

Kontrak bekerja di AS terlihat bagus yakni dengan upah US$ 400 per minggu per 40 jam. Dan tambahan US$ 13 per jam untuk lembur.

Setibanya di AS, Sri bekerja siang dan malam tanpa libur, masih menurut dokumen T-visa serta wawancara dengan tiga teman Sri dan seorang aktivis anti-perdagangan manusia asal Indonesia yang membantu Sri bertahun-tahun kemudian. Sri menuturkan bahwa dirinya kadang-kadang diberi upah US$ 50 hingga US$ 100 lebih dalam sebulan.

Semua ini dilakukannya sambil menanggung pelecehan verbal dan ancaman dari majikannya dan suami majikannya. Sri bercerita tentang emosi suami majikannya kerap meledak-ledak.

Sri juga pernah mendapat kekerasan secara verbal, bahkan pernah melemparkan remote control hingga mengenai kepalanya. Ketika Sri ingin pergi, sang majikan mengancam akan menjebloskannya ke penjara jika tanpa izin mereka.

zxc2

Sri juga menyampaikan majikannya menakut-nakuti dengan menceritakan di AS banyak kasus penembakan massal dan anggota geng yang suka menculik wanita yang sendirian untuk dijual menjadi budak seks. Ketergantungan Sri pada majikannya, bukan hanya karena pekerjaan tapi juga status hukumnya, telah mengurungnya.

Hingga akhirnya dia menemukan paspornya yang disembunyikan majikannya. Saat itu Sri sendirian di rumah. Namun, dia menyadari visanya sudah kedaluwarsa.

Sri menuturkan dirinya sudah tiga tahun lebih meminta kepada majikannya untuk bisa melihat paspornya, karena khawatir jika visanya kedaluwarsa. Jika hal itu terjadi maka Sri terancam dideportasi, bahkan dilarang kembali ke AS.