Menu

Ketahui Hukum Pencatatan Utang Dalam Islam, Ada Alasannya Disebutkan Dalam Al-Qur'an

M. Iqbal 29 Oct 2021, 15:10
Foto : Mstar
Foto : Mstar

RIAU24.COM -  SETIAP dari kita pasti pernah terlilit hutang seperti meminjam uang dari anggota keluarga atau teman karena kurangnya biaya hidup dan lain sebagainya.

Berbeda dengan utang ke bank seperti KPR rumah atau kendaraan, pembayarannya tetap dalam jangka waktu tertentu dan biasanya kita tidak segan-segan untuk membayarnya karena sudah kita jadikan rutinitas bulanan.

Meski begitu, untuk hutang seperti meminjam uang dari anggota keluarga atau teman, berapa banyak dari kita yang mencatat atau melunasinya dalam jangka waktu yang ditentukan harus kita penuhi.

zxc1

Ada juga yang lupa pernah berutang kepada orang lain sehingga tidak melunasinya. Dalam Islam, pencatatan utang sudah jelas disebutkan dalam Al-Qur'an. Allah SWT berfirman;

Mencatat utang disunat karena perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk kehati-hatian dalam urusan agama dan duniawi.

(Artinya): Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu berurusan dengan hutang yang diberikan jangka waktu sampai waktu tertentu maka kamu harus menulis (hutang dan waktu pembayarannya). [Surat al-Baqarah (282)]

Melalui penjelasan Kantor Mufti Wilayah Federal tentang hal itu, para ulama berselisih pendapat tentang kewajiban menulis atau mencatat utang melalui ayat di atas.

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa pencatatan atau pencatatan utang itu hukumnya wajib. Namun, pendapat mayoritas ulama hukumnya sunat dan jika tidak dilakukan tidak apa-apa. (Lihat Tafsir al-Mawardi 354/1 [1]; Tafsir al-Baghawi 349/1 [2]; Tafsir al-Baidawi 164/1 [3])

Selanjutnya pencatatan utang disunat karena perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk kehati-hatian dalam urusan agama dan dunia serta akan dapat menghindarkan debitur dari lalai dan lupa melunasi utangnya pada waktunya. (Lihat Ahkam al-Quran li al-Jassas 584-585/1 [4]; Fiqh al-Tajir al-Muslim hal.45 [5])

Pencatatan utang dapat menghindari perselisihan dan pertengkaran antara debitur dan debitur.

Hal-hal yang berkaitan dengan utang terutama dari aspek wanprestasi dan kesembronoan pembayaran utang sering menimbulkan perselisihan dan perselisihan antara debitur dan debitur terutama apakah orang tersebut benar-benar berhutang atau tidak dan juga berapa jumlah utangnya.

Oleh karena itu, pencatatan akan dapat mencegah terjadinya perselisihan tersebut. Hal ini dapat dilihat melalui apa yang dikemukakan oleh penulis kitab al-Fiqh al-Manhaji sebagai berikut:

(Artinya): Disunat untuk mencatat perjanjian dan jumlah hutang dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya yang akan dapat menghindari perselisihan. (Lihat al-Fiqh al-Manhaji 46/6)

Melalui pembahasan tersebut di atas, jelaslah bahwa hukum pencatatan utang adalah sunat dan sangat dianjurkan karena dapat menghindari perselisihan antara dua pihak serta mencegah debitur lupa dan lalai dalam melunasi utangnya.

Namun, itu bukan pelanggaran jika tidak dilakukan.