Menu

Kuasa Hukum Bos PT WBN - TGP Nilai Dakwaan JPU Tidak Sah

Khairul Amri 1 Dec 2021, 00:23
Foto. Ilustrasi (int)
Foto. Ilustrasi (int)

RIAU24.COM - Kasus dugaan penggelepan dana investasi yang menyebabkan kerugian korban hingga total Rp84,9 miliar, Kuasa Hukum empat pimpinan perusahaan keberatan terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Keberatan yang disampaikan kuasa hukum yang melibatkan seorang tenaga markerting yakni PT Tiara Global Propertindo (TGP) dan PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) menyebutkan dakwaan jaksa dianggap tak memenuhi syarat formil dan materil. 

"Sebab perkara ini bukan pidana tapi perdata atau wanprestasi," ujar kuasa hukum terdakwa Syafardi, S.H., MH. Selasa, 1 Desember 2021.

Diberitakan sebelumnya, BS selaku Direktur Utama WBN dan Direktur Utama TGP; AS selaku Komisaris Utama WBN; ES selaku Direktur WBN dan Komisaris TGP; dan CS selaku Direktur TGP; serta Maryani selaku Marketing Freelancw WBN dan TGP (penuntutan terpisah), didakwa dalam perkara dugaan penggelapan. 

Kasus ini awalnya dilaporkan oleh korban ke Mabes Polri, yang mengaku mengalami kerugian total Rp84,9 miliar.

Korban mengaku ditawarkan investasi dengan bunga 9 persen sampai 12 persen per tahun, dengan cara menjadi pemegang promissory note WBN dan TGP.

Syafardi, S.H., MH. menjelaskan, bahwa sejak awal perkara ini merupakan perkara keperdataan. Sebab terkait dengan perjanjian. Sehingga, proses hukumnya pun seharusnya ke sengketa keperdataan dan bukan merupakan perkara pidana. 

Penerapan pasal penipuan dan penggelapan sebagaimana diatur dalam pasal 378 dan pasal 372 KUHP dalam perkara ini sangatlah dipaksakan, karena dari awal tidak ada perbuatan tipu muslihat yang dilakukan oleh para terdakwa kepada para pelapor. 

Hubungan antara para pelapor dengan para terdakwa didasarkan hubungan perjanjian yang dibuat dengan kesadaran penuh oleh kedua belah pihak. Oleh sebab itu tuduhan  para terdakwa telah melakukan penipuan dan penggelapan adalah sangat tidak relevan dan terkesan dipaksakan.

"Ini juga sejalan dengan putusan No. 1601 K/Pid/1990 yang menyatakan bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul ialah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata. Pandangan ini juga terdapat pada beberapa putusan lainnya," tuturnya. 

Karena itu, kata Syafardi, tindakan jaksa yang mendakwa perkara tersebut ke ranah pidana merupakan kekeliruan besar. Ini dianggap menyebabkan kegamangan dalam hukum.

JPU, kata dia juga dinilai salah dalam menempatkan locus delicti atau lokasi dugaan terjadinya tindak pidana. Dalam dakwaannya, jaksa menyebut locus delicti perkara ialah di Jalan Mawar Nomor 55 RT 33 RW 02, Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan, Kota Pekanbaru.

Sementara menurut Syafardi, berdasarkan data administrasi Kota Pekanbaru, RT 33 RW 02, Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan tidak ada. 

"Locus delicti ialah syarat materil yang harus dipenuhi dalam surat dakwaan," ucap Syafardi. 

"Atas itu karena tidak terpenuhinya perumusan locus delicti secara jelas, lengkap dan cermat di dalam surat dakwaan, menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum," imbuhnya. 

Seluruh pernyataan ini telah disampaikan tim penasihat hukum dalam sidang yang mengagendakan eksepsi terdakwa.