Menu

Dokter Pertama yang Kampanyekan Cuci Tangan Dikucilkan dan Dimasukkan ke Rumah Sakit Jiwa, Tapi Saat Ini?

Rizka 29 Mar 2022, 08:35
google
google

RIAU24.COM Ignaz Semmelweis berhasil menyimpulkan perlunya cuci tangan sebelum melakukan tindakan medis, tapi saat itu dunia belum paham mengenai kuman. Ada masanya ketika membawa orang ke rumah sakit malah bisa membuatnya jadi lebih sakit, karena disana merupakan tempat bertumbuhnya infeksi.

Pada abad kesembilan bebas, lebih aman merawat orang sakit di rumah karena tingkat kematian di rumah sakit tiga hingga lima kali lebih tinggi. Rumah sakit ketika itu dipenuhi bau air kencing, muntah dan cairan tubuh lain. Begitu baunya hingga pegawai rumah sakit berjalan dengan sapu tangan menekan hidung mereka.

Saat itu, dokter jarang mencuci tangan atau peralatan medis. Ruang operasi sama kotornya dengan para pekerja di dalamnya. Hasilnya, rumah sakit dikenal dengan julukan "Rumah Kematian". Dokter asal Hungaria ini mencoba menerapkan sistem cuci tangan di Wina, Austria tahun 1840 untuk mengurangi tingkat kematian di ruang persalinan. Upaya ini gagal dan ia sempat dimusuhi rekan-rekannya.

Namun akhirnya ia dikenal dengan julukan "penyelamat ibu". Semmelweis bekerja di Rumah Sakit Umum Wina, di mana kematian menghantui semua ruangan di rumah sakit sebagaimana di rumah sakit lain ketika itu.

Di pertengahan pertama abad ke-19, belum terbayangkan oleh para dokter bahwa kondisi rumah sakit yang tidak higienis menyumbang besar pada kematian para pasien. Termasuk yang paling berisiko terinfeksi adalah ibu melahirkan, khususnya yang mengalami robekan vagina saat melahirkan. Luka terbuka ini menjadi habitat ideal bagi bakteri yang terbawa oleh dokter dan ahli bedah.

Hal pertama yang diperhatikan Semmelweis adalah dua klinik melahirkan di RS Wina di tahun 1847. Fasilitas di sana identik namun yang membedakan adalah, satu dikelola oleh mahasiswa kedokteran, satunya lagi oleh bidan.

Klinik yang dikelola mahasiswa punya tingkat kematian 98,4 per 1.000, sedangkan yang dikelola bidan 36,2 per 1.000 kematian. Awalnya ketimpangan ini dianggap disebabkan oleh mahasiswa kedokteran pria yang "lebih kasar dibandingkan bidan" dalam menangani pasien.

Katanya, penanganan yang kasar ini membuat ibu lebih rentan untuk mengalami demam nifas - infeksi rahim sesudah melahirkan - yang dianggap penyebab utama kematian sesudah melahirkan di rumah sakit. Namun Semmelweis tidak yakin pada penjelasan itu.

Di tahun itu juga, kematian seorang koleganya yang terluka di tangan saat melakukan otopsi, membuka petunjuk bagi Semmelweis. Melakukan otopsi saat itu saat itu membawa risiko kematian. Melihat rekannya meninggal di Wina, Semmelweis melihat bahwa gejalanya mirip dengan perempuan yang mengalami demam nifas. Mungkinkah dokter yang bekerja di ruang bedah membawa "partikel mayat manusia" ke ruang bersalin?

Semmelweis mengamati banyak mahasiswa yang baru saja menangani otopsi, langsung membantu persalinan. Saat itu sarung tangan atau alat pelindung lain belum dipakai saat pembedahan, dan sering terlihat mahasiswa kedokteran masuk ke bangsal dan di pakaian mereka terbawa potongan daging atau jaringan.

Sesudah menyimpulkan bahwa demam nifas itu disebabkan oleh "materi infeksi", ia memasang baskom berisi air bercampur larutan kapur di rumah sakit. Ignaz Semmelweis menyarankan mencuci tangan dengan air yang dicampur larutan kapur sebelum operasi.

Dokter yang baru saja dari ruang bedah, diminta untuk mencuci tangan dengan cairan antiseptik ini sebelum masuk ke ruang persalinan. Tahun 1848 tingkat kematian di bangsal yang ditangani mahasiswa kedokteran turun drastis ke angka 12,7 per 1.000 kelahiran.

Namun Semmelweis tak bisa meyakinkan rekan-rekannya bahwa peristiwa demam nifas terkait dengan kontaminasi yang disebabkan kontak dengan mayat. Mereka yang bersedia mengetes metode ini kadang melakukannya dengan sembrono sehingga hasilnya mengecewakan.

Antiseptik baru diperkenalkan di klinik kandungan pada 1880-an. Sesudah yang diterbitkannya dapat tanggapan buruk, Semmelweis memukul balik para pengkritiknya dan melabeli dokter yang tak cuci tangan sebagai "pembunuh".

Kontraknya di Wina tak diperpanjang, lalu Semmelweis kembali ke negerinya, Hungaria, dan bekerja untuk jabatan kehormatan tanpa gaji di klinik melahirkan di rumah sakit kecil Szent Rkus di Budapest. Sebelumnya di rumah sakit itu juga di klinik kelahiran di University of Pest, tempatnya mengajar - demam nifas merajalela, tetapi sejak ia menjabat ia berhasil memberantas demam itu. Namun kritik terhadap teorinya tak juga mereda, dan Semmelweis semakin marah terhadap keengganan rekan-rekannya untuk mengadopsi metodenya.

Sesudah kematiannya barulah Ignaz Semmelweis mendapatkan pengakuan. Tahun 1861, perilaku Semmelweis menjadi kacau dan ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Temannya menipunya dengan bilang bahwa ia ke sana untuk mengunjungi fasilitas kesehatan baru.