Menu

Tahukah Anda, Inilah Kisah Dibalik Masjid Lautze, Kronik Cerita Muslim Tionghoa yang Menghidupkan Islam di Jakarta

Devi 20 Apr 2022, 09:58
Foto : Internet
Foto : Internet

RIAU24.COM - Azan zuhur berkumandang dari Masjid Lautze, rumah ibadah komunitas muslim Tionghoa. Bangunan Masjid Lautze terletak di kawasan perdagangan dan ruko yang sibuk. Fasad depan masjid tampak seperti kelenteng atau tempat rumah ibadah umat Konghucu, dengan warna tembok merah dan kuning serta bertengger lampu lampion khas Tionghoa. 

Memasuki ruangan masjid, terhampar karpet hijau dengan garis kuning. Terlihat pajangan kaligrafi dengan gaya tulisan Mandarin berisi potong-potong ayat Alquran. Ada juga pajangan potongan Asmaul Husna dan ayat kursi dengan tulisan bahasa Mandarin. 

Setelah memasuki waktu Iqamah, para jemaah pun langsung melaksanakan salat. Pada siang itu jemaah cukup banyak, tiga saf terisi, sekitar 30 orang. Meski masjid bernuansa Tionghoa, ritual ibadah yang dilakukan sama seperti masjid pada umumnya. Humas Masjid Lautze, Yusman Iriansyah bercerita awal berdirinya rumah ibadah ini tak lepas dari sosok Haji Karim Oei, seorang Tionghoa yang ikut membantu memperjuangkan bangsa Indonesia dari penjajah dan memiliki nasionalisme tinggi. 

Karim juga merupakan tokoh pendiri Bank BCA dan pimpinan Muhammadiyah semasa hidupnya. Setelah Karim meninggal pada 1989, tiga tahun kemudian sahabat-sahabatnya berinisiatif membuat Yayasan Karim Oei. Tujuan pendirian yayasan saat itu, sebagai pusat informasi mengenal agama Islam bagi kalangan etnis Tionghoa. 

"Waktu itu kalangan Tionghoa masih perlu wawasan tentang Islam, mereka bingung mau ngapain, akhirnya kami wadahi," kata Yusman. 

Berdirinya Yayasan pun disambut baik oleh kalangan etnis Tionghoa. Lambat laun, Yayasan pun berkembang menjadi tempat ibadah umat Islam dengan menyewa sebuah ruko. Apalagi kala itu di kawasan Pecinan, Jakarta Pusat itu masih jarang ada masjid. 

Melihat perkembangannya yang begitu pesat, akhirnya Presiden RI ke-3 BJ Habibie yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) cum Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) menjadi donatur untuk pembangunan masjid. 

Alhasil, ruko tersebut pun dibeli dan disulap menjadi Masjid Lautze. Masjid itu pun diresmikan oleh Habibie pada tahun 1994. Bangunan didesain mengikuti ornamen-ornamen khas Kelenteng. Yusman mengatakan tujuannya agar warga beretnis Tionghoa yang mau mengenal Islam merasa lebih familiar dan tidak canggung. Melihat perkembangannya yang cukup pesat, pada 1991 akhirnya banyak permintaan orang non-Islam yang ingin menjadi mualaf. 

Namun, pihaknya merekomendasikan agar ikrar memeluk Islam dilakukan di masjid besar lainnya seperti Masjid Sunda Kelapa dan Istiqlal. Akhirnya pada 1997, Masjid Lautze mulai melayani permintaan umat non-Islam yang ingin menjadi mualaf. Sejak tahun 1997 hingga sekarang, sebanyak 1.691 orang yang mengikrarkan diri menjadi mualaf di Masjid Lautze. 

Dalam satu bulan, kata Yusman, sekitar delapan orang yang menjadi mualaf di Masjid Lautze. Pada Maret ini, sudah ada 12 orang yang menjadi mualaf.

Yusman mengatakan cara menjadi mualaf di Masjid Lautze tidak begitu sulit. Peserta bisa menghubungi Yayasan Karim Oei. Lalu mereka diajak berdiskusi mengenai wawasan Islam. Jika sudah merasa mantap, peserta dapat mendaftarkan diri, lalu mengikrarkan syahadat di Masjid Lautze. Setelah selesai, mereka diberikan sertifikat tanda resminya menjadi seorang mualaf.  

Selain itu, kata Yusman, Masjid Lautze juga melakukan banyak kegiatan sosial, seperti membantu masyarakat terdampak yang terdampak bencana, menyalurkan sembako, hingga bekerja sama dengan Baznas memberikan pengobatan gratis setiap minggunya. Dalam memberikan bantuan, pihaknya pun tak tebang pilih.  

Yusman menjelaskan Masjid Lautze dibuka mulai pukul 08.00 sampai 17.00 WIB, sehingga para jemaah hanya bisa mengikuti salat zuhur dan asar.