Menu

PBB : Tingkat Kelaparan Semakin Memburuk, Di Tengah Kekerasan Antar Geng di Haiti

Devi 13 Jul 2022, 08:31
Ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka di ibukota Haiti, Port-au-Prince, di tengah gelombang kekerasan antara geng-geng
Ribuan orang terpaksa meninggalkan rumah mereka di ibukota Haiti, Port-au-Prince, di tengah gelombang kekerasan antara geng-geng

RIAU24.COM - Tingkat kelaparan semakin memburuk di Haiti di tengah meningkatnya kekerasan antar geng, tingginya harga makanan dan meningkatnya inflasi. Program Pangan Dunia PBB (WFP) memperingatkan agar meningkatkan upaya bantuan kemanusiaan di negara yang dilanda krisis itu tersebut.

Dalam sebuah pernyataan pada hari Selasa, WFP mengatakan ketidakamanan di sekitar Port-au-Prince, ibukota Haiti, di mana geng telah memblokir jalan dan menguasai lingkungan, telah mempersulit orang untuk mengakses dan membeli makanan.

Jean-Martin Bauer, Direktur WFP untuk Haiti mengatakan kepada wartawan jika lebih dari satu juta orang di ibu kota Haiti mengalami rawan pangan dan pengiriman pasokan lokal seperti pisang, tidak bisa dikirim melalui jalan darat karena truk berisiko ditembak atau ditahan oleh para geng-geng bersenjata di jalan.

"Sebagian besar populasi telah terputus dari jantung ekonomi negara. Kami melihat tingkat kelaparan meningkat secara signifikan di ibu kota dan selatan negara itu, dimana kota Port-au-Prince mengalami masalah yang paling serius," kata Bauer dalam pernyataannya.

Geng-geng bersenjata juga telah memblokir jalan menuju semenanjung selatan Haiti, kata badan PBB itu, memaksa 3,8 juta orang yang tinggal di departemen selatan dari Port-au-Prince berada dalam bahaya kelaparan.

Kekerasan telah memaksa WFP untuk menggunakan rute maritim untuk mengirim bantuan ke wilayah selatan dan utara negara itu, katanya, sementara pekerja kemanusiaan harus diangkut melalui udara dengan Layanan Udara Kemanusiaan PBB (UNHAS).

“Satu-satunya pilihan aman bagi badan kemanusiaan untuk bergerak adalah melalui udara, dan tanpa dana yang memadai, UNHAS menghadapi penutupan yang akan segera terjadi pada akhir Juli 2022. Pada akhirnya, tidak hanya kelaparan yang akan terjadi, tetapi juga operasi kemanusiaan di Haiti berada dalam bahaya,” kata Bauer.3

Perdana Menteri Haiti yang dihubungi oleh Reuters, memilih tidak mau berkomentar.

Sebagai informasi, Haiti mengalami situasi keamanan yang memburuk sejak pembunuhan Presiden Jovenel Moise pada Juli 2021, yang memperburuk situasi politik yang sudah penuh di negara Karibia itu. Pembunuhan presiden Haiti mengantarkan gelombang baru kekerasan geng yang baru-baru ini dikatakan oleh kepala hak asasi manusia PBB telah mencapai tingkat yang tidak terbayangkan dan tidak dapat ditoleransi.

“Kekerasan geng memiliki dampak yang parah pada hak asasi manusia yang paling dasar. Lusinan sekolah, pusat kesehatan, bisnis, dan pasar tetap tutup, dan banyak orang berjuang untuk menemukan produk dasar termasuk makanan, air, dan obat-obatan,” kata Michelle Bachelet dari PBB pada pertengahan Mei .

“Pembatasan pergerakan orang dan barang seperti itu juga dapat memiliki dampak jangka panjang yang menghancurkan pada situasi ekonomi yang sudah sulit di Haiti,” katanya juga.

Dalam rentang waktu 24 April dan 16 Mei 2022, PBB melaporkan bahwa setidaknya 92 orang yang tidak berafiliasi dengan geng dan sekitar 96 lainnya yang diduga anggota geng tewas dalam serangan bersenjata di Port-au-Prince. Sementara itu, penculikan untuk tebusan telah melonjak. Lebih dari 50 orang tewas dalam bentrokan antar geng sejak Jumat, kata seorang walikota setempat.

Kekerasan itu juga mencegah ribuan anak Haiti pergi ke sekolah, kata PBB pekan lalu.

“Sejak 24 April, setengah juta anak kehilangan akses ke pendidikan di Port-au-Prince di mana sekitar 1.700 sekolah ditutup, menurut angka pemerintah,” lapornya.

Tahun lalu, lebih dari 19.000 orang, termasuk 15.000 wanita dan anak-anak, terpaksa meninggalkan rumah mereka karena kekerasan, PBB juga mengatakan, sementara “perang geng telah meningkat” pada tahun 2022. Sementara itu, kebuntuan politik terus berlanjut ketika pemimpin de facto negara itu, Perdana Menteri Ariel Henry, menegaskan dia dapat tetap di jabatannya sampai pemilihan dapat diadakan.

Pada bulan September, Henry menunda tanpa batas waktu pemilihan presiden dan legislatif, serta referendum konstitusional, di tengah krisis.

Dia juga menentang inisiatif yang dipimpin warga yang dikenal sebagai Kesepakatan Montana, yang dirumuskan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil Haiti yang terkemuka dan akan membentuk pemerintahan transisi dua tahun, dengan mengatakan “pemilu adalah satu-satunya jalan ke depan”.   (***)